Search

Untung dan Buntung Bisnis Digital Karena PandemiValidnews.id - Validnews

JAKARTA – Pandemi yang memaksa masyarakat mengurung diri di rumah mengubah perilaku konsumen. Ini bukan kabar yang mengejutkan. Bahkan mudah diprediksi sejak covid-19 mewabah di dataran China.

Menganalisa dampak pandemi covid-19 terhadap dunia usaha di Indonesia, harus bersiap dengan realita. Ya, memang benar banyak sektor usaha ambruk karena pembatasan sosial, namun bukan berarti perekonomian mati.

Masyarakat tetap mengeluarkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pembatasan berskala besar terbukti tak jadi masalah. Jika tidak boleh pergi ke pasar, ya belanja saja di e-commerce. Toh, bisa diantar hari ini. Apalagi saat ini buah, sayur-mayur, dan daging segar pun bisa dibeli secara daring.

Head of The Center of Innovation & Digital Economy di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Hanif Muhammad mengamini. Ekonomi tidak mati. Dari beberapa penelitian yang dia baca, kebiasaan seseorang bisa berubah dalam waktu 21 hari. Ada pula yang menyimpulkan, kebiasaan akan berubah dalam 60 hari.

Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung menyebutkan kebiasaan-kebiasaan baru ini sebagai new normal. Atau, kebiasaan baru yang awalnya tidak biasa, namun kemudian menjadi kenormalan baru.

Ignatius sendiri menganggap bahwa saat ini Indonesia hanya dalam survival mode saja. Menurut dia, setelah covid-19 hilang, maka survival mode-nya tidak ada. Artinya, tidak perlu survival karena tidak ada ancaman.

"Jadi orang balik lagi ke apa yang nyaman biarpun hal-hal yang ternyata lebih nyaman ditemukan dan diadopsi di periode ini bisa terus berlanjut. Kaya contoh misalnya pakai uang elektronik," katanya kepada Validnews, Jumat (1/5).

Perubahan Perilaku Digital
Saat ini, hampir semua negara di dunia mencatatkan peningkatan penjualan online.  Wajar, karena tentunya dipicu oleh pergeseran perilaku konsumen yang  sadar untuk menjaga jarak fisik di tengah pandemi covid-19. Tapi, rupanya pandemi juga mengubah perilaku konsumen di pasar digital dan pelaku e-commerce. Pembelian online (online shopping) mulai bergeser dari produk yang sifatnya keinginan (wants) ke produk yang sifatnya adalah kebutuhan (needs).

Belanja online konsumen melebar (widening) dari barang-barang non-esensial ke esensial (daily needs) dan mendalam (deepening). Volumenya signifikan makin besar. “Trennya kalau kita lihat sekarang orang mulai belanja hanya untuk kebutuhan pokok saja. Back to basic,” ungkap Ignatius.

Ignatius dan Hanif sama berpendapat bahwa bisnis digital yang saat ini tumbuh adalah marketplace yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga (Tokopedia, Shopee, Bukalapak). Juga, marketplace yang menjual groceries/agrikultur (Sayurbox, TaniHub, Brambang), retail (Klikindomaret, Alfacart), healthtech (Halodoc), hingga edutech (Ruangguru).

Uniknya, Hanif juga melihat ada habit yang muncul di tengah pandemi, yakni hobi yang berbasis di rumah. Di matanya, penjualan tumbuhan dan penjualan hidroponik terlihat naik secara signifikan di beberapa e-commerce.

Pengamatan Hanif cocok. Asosiasi E-commerce Indonesia (IdEA) menyebutkan, era kerja dari rumah menjadi golden moment bagi perusahaan digital untuk mengembangkan bisnis, work from home juga berperan besar terhadap pertumbuhan industri e-commerce

"Ini sebetulnya golden moment terutama untuk perusahaan digital. Orang yang tadinya tidak melek digital, namun sejak WFH mau tidak mau jadi harus bisa," ujar Ignatius.

E-commerce Shopee—startup dengan valuasi menembus US$1 miliar atau telah menyandang gelar Unicorn ini—mengakui bahwa trafik dan transaksi tinggi selama pandemi. Sayangnya, saat ditanya berapa persen peningkatan penggunaan aplikasinya, Shopee mengatakan belum bisa memberikan proyeksi, catatan perhitungan kenaikan ini.

Public Relations Lead Shopee Indonesia Aditya Maulana mengatakan, terdapat lonjakan permintaan untuk kebutuhan sanitasi dan barang-barang esensial selama pandemi. Marketplace ini, karenanya berniat terus menjamin para pengguna mendapatkan pengalaman berbelanja yang nyaman untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut. Salah satunya adalah wajarnya harga.

"Kami juga terus bekerja sama dengan para mitra kami untuk menjaga persediaan barang-barang esensial, seperti masker dan hand sanitizer, dengan pantauan agar tetap berada di tingkat harga yang wajar," kata Aditya kepada Validnews, Selasa (5/5).

Peningkatan yang dirasakan Shopee juga dialami oleh Bukalapak. Menurut Financial Times, selama Maret 2020, Bukalapak mencatat kenaikan nilai transaksi sebesar 20% dari bulan sebelumnya. Kenaikan ini didorong oleh tingkat transaksi produk bahan pokok yang meroket 3,5 kali lipat dan nilai transaksi produk makanan minuman naik dua kali lipat dari bulan sebelumnya. Selain itu, permintaan seperti masker juga meningkat 90%, vitamin meningkat 30%, dan kategori produk hobi dan games naik sebesar 70% selama Maret 2020.

Sementara pada bulan April 2020, Head of Corporate Communication Bukalapak Intan Wibisono mengatakan, terlihat kenaikan transaksi pada kategori fashion, seperti baju muslim dan perlengkapan salat.

Peningkatan transaksi juga terlihat pada kategori makanan pokok, seperti daging sapi, minuman instan, dan kurma. Namun, sejak kebijakan larangan mudik dikeluarkan, hal itu otomatis mengubah tren pembelian pada platformnya.

"Pada bulan Ramadan tahun lalu, kami mencatat transaksi pada kategori otomotif yang cukup tinggi. Kini kami mencatat minat beli masyarakat beralih pada kategori perlengkapan rumah tangga dan kategori kesehatan," ungkapnya kepada Validnews, Selasa (5/5).

Terpukul Corona
Namun, tak semua sektor di dunia e-commerce dan bisnis berbasis aplikasi beruntung untuk mencatatkan kenaikan. Bukan sebab ‘hujan tak merata’. Beberapa pelaku justru menderita dihantam covid-19. Jasa travel dan jasa transportasi online gigit jari terdampak pandemic.

"Kalau kita lihat Traveloka, Tiket.com tertekan, begitu juga dengan Gojek dan Grab. Jadi yang dilakukan pemain itu salah satunya melakukan kampanye digital dengan tema terkait corona," jelas Ignatius.

Dilansir dari Nikkei Asian Reviewstartup booking travel Indonesia, Traveloka, kabarnya terpaksa mem-PHK 100 orang atau sekitar 10% karyawannya pada sekitaran akhir Maret hingga awal April. Dampak covid-19 menjadi penyebabnya. Ada sumber yang menyebutkanada pengurangan gaji bagi yang bertahan.

Pihak Traveloka sendiri tidak memberikan komentar terkait dengan persoalan ketenagakerjaan ini. Namun dalam sebuah konferensi pers, CEO Transport Traveloka Caesar Indra mengatakan, perusahaan mendapatkan banyak permintaan refund dari pelanggan yang perjalanannya terdampak pandemi.

"Kami mulai mencatat penurunan dalam perjalanan dan pemesanan. Volume refund terjadi besar-besaran pada Februari di Thailand, ketika pemerintah mencegah orang bepergian. Situasi menjadi menurun setelah itu," katanya.

Perusahaan sejenis, yaitu Tiket.com, mengatakan bahwa sampai saat ini, manajemen masih berjalan normal. "Tidak ada lay off dan tidak ada pemotongan gaji, karena bagi Tiket.com asset nomor satu Tiket.com adalah people, alternatif yang kami ambil saat ini adalah efisiensi untuk pemotongan cost yang bisa diminimalisasi diantaranya untuk spend marketing dan discounting, kami melakukan cut spending budget hingga 90%," tegas Co-Founder & Chief Marketing Officer Tiket.com Gaery Undarsa kepada Validnews, Senin (4/5).

Dijelaskan, pandemi covid-19 memang membuat penjualan produk-produk perusahaan ini anjlok. Terutama product flight, hotel, dan event. Meski menurun 75%, penjualan flight masih berjalan. Disebut, ini masih menjadi salah satu sumber pendapatan paling besar. Sebab banyak orang yang masih bepergian menggunakan pesawat.

Gaery menjelaskan, Tiket.com kini mengubah focus business dari yang biasanya jualan (mendorong orang-orang untuk travel dan lain-lain), diubah menjadi customer handling. "Mulai dari director levelmanagerial level, dan semua layer di Tiket.com mengubah fokus ke arah customer care, baik dari segi projecttechnology development," katanya.

Di sisi lain, dia menyebutkan, ada kenaikan refund tujuh hingga 10 kali lipat. Namun, semakin hari bertambah, total pending case di customer care sudah menurun drastis berkat tenaga volunteer tambahan. Tiket.com juga membantu customer melalui fitur Smart Refund & Smart Reschedule. Jadi, customer tidak perlu telepon, e-mail atau chat, cukup menggunakan fitur tersebut secara mandiri.

Gaery malah optimistis, seluruh karyawan di Tiket.com diarahkan untuk menyiapkan apa saja yang akan dilakukan saat pandemi covid-19 mulai mereda.

"Belajar dari China yang sekarang pandeminya sudah mulai mereda. Mereka berbondong-bondong ingin segera berjalan-jalan, melakukan hal-hal yang yang mungkin sebelumnya mereka tahan-tahan," ungkapnya.

Selain jasa travel dan transportasi online yang terdampak, Ketua Umum idEA Ignatius Untung menambahkan, platform-platform yang menjual atau menawarkan bukan kebutuhan pasar, seperti fashion, kupon, dan tiket online juga diyakini mengalami penurunan pendapatan.

"Yang penting selamat, masih bisa makan, gajian masih masuk, aman tidak kena covid-19. Jadi kalau diajakin ngomong soal fashion, saya yakin sih turun," tuturnya.

Tak hanya itu, menurut peneliti Indef Hanif Muhammad, startup yang memberikan layanan personal service seperti GoMassage dari Gojek, salon, Bridestory untuk pernikahan, dan hal-hal seperti itu juga tengah struggling atau berjuang di masa pandemi ini.

Adapun untuk fintech, ada yang turun dan ada yang naik. Sebab ada bermacam-macam jenis fintech, yaitu peer to peer lending (P2P Lending)fintech investasi, dan fintech payment.

Ignatius menduga bisa saja fintech P2P naik karena banyak orang bakal meminjam uang dalam kondisi pandemi ini. Sebaliknya, di ranah  investasi, ia menduga bahwa seluruhnya fintech di bidang ini ambruk, karena yang masih berputar adalah pasar uang.

Sementara fintech payment, ia menduga ada yang naik dan ada yang turun. Biasanya fintech payment ternama bekerja sama dengan merchant-merchant di mal. Pada saat ini banyak pusat perbelanjaan ditutup.

Di tengah ambivalensi pasar dan tren ekonomi, Indef meyakini bahwa bisnis digital, khususnya e-commerce tetap tumbuh.

Namun, Ignatius Untung mengatakan sulit menghitung pertumbuhan bisnis digital tahun ini. Pandemi menimbulkan dampak yang anomaly, tak sama terhadap masing-masing bisnis ini.

Dia mengatakan, tetaplah penting untuk membangun omni channel. Mengandalkan online saja tak cukup. Perlu ada offline mendampingi pola bisnis.

Dari paparan  semua narasumber di atas, ada benang merah yang bisa ditarik.  Tidak ada kejadian yang sepenuhnya bernilai negatif di dunia ini. Pandemi covid-19 membunuh jutaan nyawa manusia, mengubah pola kehidupan peradaban bumi dalam sekejap, dan menahan roda perekonomian dunia berputar.

Dunia usaha merugi, produksi industri terhenti, banyak orang kini terpaksa hidup dengan pendapatan minimum, sebagian lagi bahkan harus menelan kenyataan pahit usai di-PHK. Namun, sepahit apa pun dampak yang kita telan, ada sebagian pihak yang justru mendulang untung selama pandemi.

Terdengar ironis. Namun dunia usaha demikian adanya. Pola pikir pelaku bisnis mesti adaptif dan responsif menyambut peluang untuk bertahan hidup. (Fitriana Monica Sari, Yoseph Krishna, Rheza Alfian)

Let's block ads! (Why?)



"bisnis" - Google Berita
May 05, 2020 at 08:30PM
https://ift.tt/2WsokxK

Untung dan Buntung Bisnis Digital Karena PandemiValidnews.id - Validnews
"bisnis" - Google Berita
https://ift.tt/2ZX4j67
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Untung dan Buntung Bisnis Digital Karena PandemiValidnews.id - Validnews"

Post a Comment

Powered by Blogger.