PARA pelaku pariwisata skala kecil dan masyarakat sipil di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT) turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi untuk menolak kebijakan kenaikan tarif masuk ke Taman Nasional Komodo (TNK) -khususnya pulau Komodo dan Padar- oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Tak tanggung-tanggung, KLHK dan Pemprov NTT menetapkan kenaikan tiket dari Rp 50.000 (wisatawan nusantara) dan Rp 150.000 (wisatawan mancanegara) menjadi Rp 3,75 juta untuk perseorangan dan Rp 15 juta per empat orang pengunjung. Kenaikan tiket yang sangat luar biasa itu memantik pro-kontra.
Bagi para penolak, kenaikan tiket dapat membunuh usaha kecil-menengah dan pelaku pariwisata lokal dan hanya menguntungkan kelas-kelas bisnis tertentu yang sudah mendapat izin pinjam pakai lahan di dalam kawasan TNK. Beberapa perusahaan itu, seperti PT Syinergindo Niagatama (17 ha), PT Komodo Wildlife (151 ha) dan PT Flobamor (BUMD milik Provinsi NTT) dan mitranya.
Baca juga: Demo Tolak Kenaikan Harga Tiket TN Komodo di Labuan Bajo, Sejumlah Warga Terluka
Bukan hanya itu, kenaikan tiket akan diikuti dengan pembangunan masif dalam kawasan TNK dan warga yang sudah ratusan tahun hidup berdampingan dengan komodo harus minggir dari tanah tempat mereka lahir.
Sementara bagi pemerintah provinsi dan KLHK, kenaikan tiket masuk ke TNK dan Padar dalam rangka membatasi jumlah pengunjung demi menjaga ekosistem komodo. Berdasarkan data Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) KLHK, daya tampung TNK setiap tahun hanya sebesar 292.000 pengunjung.
Kenaikan tiket juga dapat menambah devisa dan penerimaan daerah dan negara. Dana hasil kenaikan tiket masuk juga bertujuan untuk konservasi dalam TNK.
Alasan di atas tampak sangat mulia. Namun muncul kecurigaan bahwa kebijakan KLHK dan Pemprov NTT di pulau Komodo dan Pulau Padar disusupi kepentingan bisnis group-group besar di Jakarta yang bermitra dengan perusahaan milik provinsi, PT Flobamor.
PT Flobamor adalah badan usaha milik daerah (BUMD) milik Pemprov NTT dan mitranya dari pihak swasta. Perusahaan ini memiliki Izin Penguasaan Pariwisata Alam (IPPA) dan Izin Usaha Penyedia Sarana Wisata Alam (PSWA) di TNK. Jika kebijakan kenaikan tiket masuk berjalan, PT Flobamor yang memiliki peran mengatur tiket masuk ke kawasan TNK.
Dana bagi hasilnya pun kelihatan sangat tidak proporsional. Sebagai contoh, dari dana penjualan tiket masuk ke TNK untuk empat orang pengunjung yang sebesar Rp 15 juta, sebesar Rp 100.000 dialokasikan untuk Pemerintah Daerah Manggarai Barat, untuk Pemprov NTT sebesar Rp 100.000, untuk konservasi sebesar Rp 2 juta dan untuk PT Flobamor dan mitranya Rp 6 juta.
Jadi, alasan kenaikan tiket masuk untuk tujuan konservasi hanya efek samping saja, bukan tujuan utama. Buktinya, porsi bagi hasil yang paling besar justru diserahkan ke PT Flobamor dan mitranya.
PT Flobamor memonopoli
PT Flobamor bentukan pemerintahan provinsi itu belum memiliki bentuk fisiknya di TNK. Perusahaan itu menggunakan sistem online yang kontrolnya entah ada di provinsi atau Jakarta.
Namun, ekspansi bisnisnya sudah merambah ke mana-mana dan hampir mengontrol semua rantai jaringan bisnis pariwisata dari hulu (bandara, kapal, agen travel) sampai pengkaplingan ruang bisnis di kawasan pulau Komodo dan Padar.
Padahal, tujuan terbesar wisatawan ke Labuan Bajo adalah dua tempat yang tiketnya dinaikan secara signifikan itu. PT Flobamor sudah mencaplok ruang (lahan dan laut) yang akan menjadi mata pencaharian warga di sekitar TNK dan berbagai bisnis pariwisata di Labuan Bajo. Tak mengherankan jika banyak yang mengatakan perusahaan ini memonopoli bisnis pariwisata di Labuan Bajo.
Protes pelaku pariwisata dan masyarakat sipil di Labuan Bajo terhadap kebijakan tarif masuk ke Komodo dan Padar juga dialamatkan langsung kepada ekspansi bisnis PT Flobamor. Mereka protes karena perusahaan ini tampak sangat perkasa dengan menggunakan kekuatan negara.
Baca juga: Imbas Kenaikan Tiket Kawasan TN Komodo, HPI NTT Sebut 10.000 Wisatawan Batal Kunjungi Labuan Bajo
Ini sangat ironi. Bagaimana mungkin sebuah perusahaan daerah (representasi negara) hadir melakukan monopoli bisnis pariwisata dan ditopang regulasi ketat dari negara. Cara bisnisnya pun sangatlah modern, mengikuti trend start-up dan bisnis gaya baru, sehingga PT Flobamor itu hanya nama, karena sistemnya yang berjalan.
Perusahaan itu juga berbisnis bak agen travel. Apabila ada wisatawan ke pulau Padar, Komodo, dan Pink Beach, dia harus mendaftar ke aplikasi INASA (sistem yang digunakan PT Flobamor untuk berbisnis online pariwisata) dan melakukan transfer ke Bank NTT melalui rekening PT Flobamor.
Ini sangat monopolistik. Sudah mendapat jatah penagihan tiket di Komodo dan Padar, ternyata perusahaan itu juga mengkapling rantai jaringan bisnis lainnya yang masuk ke dua zona wisata dengan pengunjung terbesar itu.
Ketika ada yang berdemo seperti sekarang, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten mengerahkan aparat kepolisian dan Brimob.
Bisnis online yang digunakan PT Flobamor di atas tanpa hambatan apapun dari KLHK. Padahal, otoritas yang berkuasa penuh di kawasan TNK adalah KLHK. Banyak orang di Labuan Bajo bertanya, mengapa KLHK tak bisa mengatur cara berbisnis PT Flobamor ini? Mengapa KLHK tak mampu berhadapan dengan kekuasaan pemerintah provinsi yang seolah berkuasa penuh di TNK?
Jawabannya tampaknya tak bisa lurus, harus memakai logika ekonomi politik yang rumit.
Menteri KLHK dan gubernur NTT Viktor Laiskodat berasal dari satu partai politik, Nasdem.
Skema janggal dan tidak biasa
Skema bisnis PT Flobamor, sebagai BUMD, janggal. BUMD sama saja dengan perusahaan badan usaha milik negara (BUMN). BUMN tak melulu mencari profit, tetapi juga berperan seperti public service obligation (PSO) atau melayani publik.
Hal itu misalnya yang dilakukan perusahaan minyak dan gas negara, PT Pertamina (Persero) dalam mendistribusikan bahan bakar minyak (BBM) ke seluruh wilayah Nusantara. Yang perlu dicatat adalah bukan karena dia perusahaan negara atau daerah, BUMN atau BUMD berbisnis menggunakan instrumen kebijakan negara untuk melakukan monopoli dagang.
Pemerintah itu tugasnya mengatur, meregulasi dan mensupervisi perusahaan swasta, perusahaan publik, melindungi pelaku usaha kecil dan menengah agar ada distribusi yang adil dalam pasar. BUMD dan BUMN itu cara bisnisnya harus seperti cara bisnis perusahaan swasta lainnya. Dia harus berkompetisi, memiliki good corporate governence (GCG), memiliki pelayanan baik agar disukai pelaggan atau konsumen.
Kelebihan perusahaan BUMN atau BUMD adalah tak terlalu berwatak seperti perusahaan dalam kapitalisme. Jika ada pelaku usaha kecil tak mampu, BUMD dan BUMN berusaha membantu, bukan mematikan bisnis mereka. Karena dalam dirinya ada dua wajah, yaitu, representasi pemerintah dan perusahaan yang mengolah bisnis.
BUMD atau BUMN tak boleh menggunakan instrumen kekuasaan negara untuk melakukan monopoli bisnis. Dia hanya bisa melakukan operasi pasar manakala terjadi pasar persaingan tak sempurna.
Jika ada pemilik-pemilik kapal di Labuan Bajo, misalnya, sesuka hati menaikan harga tiket kepada penumpang yang membuat konsumen atau rakyat kecil merugi, BUMD bisa ikut campur tangan dengan cara turun ke pasar, berbisnis kapal di perairan Labuan Bajo dan mamatok harga lebih rendah agar membantu masyarakat kecil bisa menikmati pulau-pulau indah di kawasan itu.
Dengan cara seperti itu, serentak pemilik-pemilik kapal yang mematok harga tinggi, menurunkan harga sewa.
Jadi, sesekali BUMD itu bisa berperan melakukan "operasi pasar" manakala terjadi persaingan tak sempurna dalam pasar.
Yang dilakukan PT Flobamor justru terbalik. Perusahaan itu menggunakan tangan negara (pemerintah provinsi) untuk melakukan ekspansi bisnis. Skema perusahaan ini bahkan berpontesi membunuh semua pelaku pariwisata dengan cara yang modern dan sistematis.
Berbagai akses dan kemudahan disediakan negara, mulai dari regulasi, kebijakan pembatasan pengunjung atau kenaikan tiket demi akumulasi PT Flobamor. Ini skema bisnis yang murni kapitalis, menggunakan tangan negara menguasai ruang dan pasar.
Baca juga: Biaya Masuk TN Komodo Naik, Konsep Konservasi Dipertanyakan
Jika demikan soalnya, ini adalah bentuk tak kelihatan dari privatisasi TNK atas bantuan tangan negara.
Group-group bisnis di republik ini sudah sangat lihai membuat skema bisnis dengan pemerintah daerah. Jika ada regulasi ketat yang tak memungkinkan mereka masuk secara langsung berbisnis, seperti di TNK, mereka gunakan saja BUMD milik provinsi untuk bisnis. Yang kelihatan ke publik memang perusahaan daerah, tetapi cara mereka berbisnis murni kapitalis, pengeruk untung.
Kita butuh jawaban jujur dari Pemprov NTT terkait skema bisnis dan tujuan bisnis PT Flobamor di TNK. Jika kepentingannya untuk menaikan penerimaan daerah melalui BUMD agar pertumbuhan daerah naik, mengapa berbisnis dengan cara monopolistik?
Jika itu yang harapkan, maka, logika pemerintah daerah dalam pertumbuhan adalah trickle-down-effect atau efek kucuran ke bawah yang banyak dikritik para ekonom seluruh dunia saat ini? Trickle-down-effect itu hanya menguntungkan kelas elite, bukan rakyat kecil, seperti rakyat miskin di NTT.
Bukankah pelaku-pelaku pariwisata dan pelaku usaha kecil di Labuan Bajo itu bisa mengangkat pertumbuhan ekonomi daerah jika pariwisata meningkat?
Pertumbuhan pariwisata sangat tergantung pada mobilitas dan arus manusia masuk ke Labuan Bajo. Semakin besar mobilitas manusia, pertumbuhan daerah pasti meningkat, karena multiplier-effect-nya sangat besar. Wisatawan yang masuk akan membuat roda ekonomi rakyat berputar, konsumsi daerah meningkat dan kelak pariwisata super premium itu bisa dinikamati semua rakyat NTT, bukan segelintir pihak.
Perlu transparan & hentikan.
Karena itu, saya sangat terharap jawaban terbuka Pemprov NTT terkait eksistensi PT Flobamor agar tidak menimbulkan kecurigaan terus-menerus. Pemprov NTT harus menjelaskan secara rinci dan detail skema-skema bisnis PT Flobamor sebagai perusahaan daerah.
Pemprov juga perlu menjelaskan secara transparan, siapa mitra bisnis PT Flobamor dan mengapa dana bagi hasil dari kenaikan tiket lebih besar ke PT Flobamor daripada untuk biaya konservasi?
Jika perlu, Pemprov NTT menghentikan aktivitas bisnis PT Flobamor yang membunuh usaha pelaku pariwisata di Labuan Bajo.
Pemprov dan KLHK juga perlu menimbang ulang, menghentikan kebijakan kenaikan tiket masuk ke Komdo dan Padar agar pariwisata Labuan Bajo kembali bergairah seperti sediakala. Pengkaplingan ruang dan wilayah TNK hanya untuk kepentingan bisnis tak dibenarkan, karena pariwisata Labuan Bajo untuk semua orang.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel."bisnis" - Google Berita
August 03, 2022 at 08:38AM
https://ift.tt/6JPxfEr
Mempersoalkan Skema Bisnis PT Flobamor di Taman Nasional Komodo - Kompas.com - Kompas.com
"bisnis" - Google Berita
https://ift.tt/GJ8OPxD
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Mempersoalkan Skema Bisnis PT Flobamor di Taman Nasional Komodo - Kompas.com - Kompas.com"
Post a Comment