Judul buku : Anthro-Vision: A New Way to See in Business and Life
Penulis : Gillian Teet
Penerbit : Simon & Schuster
Cetakan : Pertama, Juni 2021
Tebal : 304 hlm.
Sudah lama disadari bahwa bisnis merupakan bidang yang bersifat lintas ilmu. Namun, dalam perjalanannya, sejak masa berakhirnya Perang Dunia II, kajian yang bersifat kuantitatif cenderung lebih mendominasi dalam bidang bisnis daripada kajian yang bersifat kualitatif.
Ketidakseimbangan itu mengecil bersamaan dengan digunakannya berbagai analisis kualitatif yang bermunculan akhir-akhir ini. Salah satunya, penggunaan antropologi dalam bidang bisnis.
Sudut pandang antropologi semakin diperlukan seiring dengan munculnya berbagai masalah besar akhir-akhir ini, seperti perubahan iklim, pandemi, rasisme, hoax, kecerdasan buatan, gejolak finansial global, serta konflik politik yang semakin rumit dan berkepanjangan. Antropologi akan membuat kita lebih siap terhadap berbagai hal yang terjadi di luar dugaan, memperluas lensa pemahaman kita terhadap masalah yang dihadapi, dan dapat digunakan sebagai alat refleksi atas segala hal yang selama ini kita anggap telah kita pahami dengan baik tetapi ternyata belum mampu memberikan solusi yang diharapkan.
Hal ini terjadi karena hampir semua metode dan perangkat yang kita gunakan untuk menganalisis berbagai perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini tidak dapat berfungsi sesuai harapan. Banyak perhitungan yang walaupun telah menggunakan berbagai perangkat perhitungan dan analisis yang semakin canggih, ternyata tidak mampu memprediksi dan menjelaskan terjadinya berbagai peristiwa itu dengan baik.
Hal itu mengakibatkan sering terjadi kesalahan dalam memperhitungkan dan mengantisipasi apa yang akan terjadi. Prediksi ekonomi sering meleset, jajak pendapat politik tidak tepat, dan berbagai survei pelanggan juga ternyata tidak akurat. Hasil yang didapat malahan menjadi semakin tidak pasti, sulit diprediksi dan diantisipasi.
Masalah menjadi sulit dicari pemecahannya karena perangkat yang digunakan untuk menganalisis segala perubahan yang terjadi tidaklah lengkap. Berbagai perangkat yang digunakan mengesampingkan kesadaran akan adanya faktor manusia, budaya, dan konteks yang melingkupi peristiwa tersebut. Di sini orang memandang masalah hanya dari sudut pandangannya.
Disadari bahwa alam globalisasi dan kemajuan teknologi saat ini telah membuat diri kita menjadi lebih terhubung satu sama lain. Namun, pemahaman kita tentang orang lain tidak secepat perkembangan perubahan dan keterhubungan yang terjadi.
Kita menjadi lebih terkoneksi, tetapi pemahaman terhadap pihak lain dan lingkungan sekitar justru menjadi semakin berkurang. Sebagai contoh, walaupun bukti ilmiah telah demikian kuat, banyak, dan mudah diakses, kelompok yang memercayai adanya bumi datar juga tidak berkurang. Antara fakta yang ada dan tingkat pemahaman seseorang seakan-akan tidak nyambung. Berbagai hal seperti ini memengaruhi berbagai hal dalam kehidupan, termasuk dalam hal yang terkait dengan pengambilan keputusan ekonomi dan bisnis.
Salah satu studi klasik tentang faktor manusia dalam perusahaan ini pernah dilakukan pada tahun 1927, yang terkenal dengan nama Hawthorne effect. Mereka melakukan studi tentang produktivitas kerja di sebuah pabrik.
Dari observasi yang dilakukan, tidak terdapat perbedaan produktivitas ketika lampu di dalam ruangan diterangkan atau diredupkan, begitu pula ketika jadwal kerja karyawan diubah. Namun, terdapat perbedaan produktivitas yang besar ketika karyawan diberitahu bahwa mereka sedang diamati dibandingkan dengan ketika mereka merasa tidak tahu kalau sedang diamati orang lain.
Maka, kehadiran pihak lain saja sudah cukup untuk menaikkan produktivitas. Interaksi antarkaryawan yang baik lebih memungkinkan terjadinya peningkatan produktivitas dalam perusahaan itu.
Namun, kemudian terjadi Perang Dunia II yang menyebabkan pendekatan manajemen ilmiah lebih dikedepankan daripada pendekatan budaya. Jargon-jargon seperti manajemen ilmiah, efisiensi perusahaan, dan perencanaan yang efektif lebih mendominasi wacana yang ada. Sementara itu, pendekatan yang berorientasi budaya menjadi terpinggirkan.
Nemun, dunia cepat sekali berubah, demikian pula dengan perilaku manusia, perlu pemahaman yang lebih mendalam terhadap segala hal yang bukan hanya tampak di permukaan. Pemahaman ini akan meningkatkan daya adaptasi manusia terhadap situasi yang cepat sekali berubah ini. Menjadi adaptif merupakan keterampilan utama yang diperlukan oleh manusia dan organisasi di abad ke-21 ini agar tetap dapat terus tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.
Peradaban manusia menghasilkan banyak sekali simbol, ide, gambar, dan artefak yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Berbagai hal yang telah tersebar luas tersebut, walau mungkin berasal dari sumber yang sama, memiliki makna yang berbeda-beda bagi berbagai macam orang yang terpapar. Bahkan, sering berbagai hal tersebut bisa memiliki makna yang sangat berbeda dengan yang dimaksudkan oleh pembuatnya.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan membuat simbol dan konsep, serta mencari makna dari segala sesuatunya. Pemahaman akan makna sangat dipengaruhi latar budaya yang melingkupinya.
Kelompok manusia menggunakan berbagai ritual dan simbol yang ada untuk menciptakan, memelihara, serta memperkuat pandangan dan jalinan sosial yang dimilikinya. Manusia yang mempunyai simbol dan ritual berbeda-beda ini kemudian membentuk suku-suku tersendiri. Begitu pula dengan yang terjadi di dunia bisnis.
Bidang atau kelompok keuangan, operasi, SDM, dan pemasaran cenderung lebih banyak bergaul dengan kalangan mereka sendiri dengan menggunakan bahasa, simbol, dan ritual yang hanya dapat dimengerti dan dipahami dengan baik oleh kelompoknya sendiri. Sering mereka asyik dengan dunia mereka sendiri, sampai lupa memperhatikan adanya keterkaitan dengan dunia lain.
Bagi orang luar, hal-hal yang dibicarakan dalam kelompok tertentu juga merupakan hal yang asing, terlalu teknis dan spesifik bahasannya. Sehingga, sulit bagi orang luar untuk dapat memahaminya dengan baik.
Sebagai contoh, masalah keuangan telah tumbuh menjadi sedemikian kompleks dan rumit, bahkan orang keuangan sendiri terkadang sulit memahaminya. Penuh dengan simbol, konsep, dan bahasa yang hanya dimengerti oleh kalangan mereka sendiri. Tidak mudah mengajak pihak lain untuk turut serta di dalamnya. Padahal, besar dan kompleksnya masalah yang dipahami memerlukan campur tangan banyak pihak untuk mencari solusinya.
Kita saat ini hidup di dunia yang penuh dengan gangguan (noise). Kekuatan antropologi dapat membantu kita untuk mendengarkan keheningan sosial, dan dapat membantu juga untuk melihat sesuatu yang tersembunyi di depan mata kita (hidden in plain sight).
Dalam pengambilan keputusan sehari-hari pun kita cenderung bersifat impulsif daripada reflektif. Antropologi membantu kita untuk melakukan refleksi atas kehidupan sehari-hari yang kita jalani.
Lebih-lebih lagi, jika sekeliling hidup kita telah penuh dengan layar komputer, perangkat gadget, dan lain sebagainya. Banyak orang menghabiskan waktu di dunia maya sehingga cenderung melupakan dunia nyata yang lebih riil dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-harinya. Ini karena banyak hal tidak dapat diselesaikan secara teknis tetapi secara budaya.
Dalam manajemen sebuah perusahaan, sering yang muncul bukanlah masalah teknis yang relatif mudah untuk mengatasinya. Masalah yang sulit dan lebih rumit penyelesaiannya adalah masalah yang terkait dengan sosial-budaya. Karenanya, pemecahannya harus melibatkan faktor sosial-budaya juga. Banyak orang terbiasa melihat hal yang sifatnya teknis, sehingga melupakan atau tidak mampu melihat gambar besarnya.
Terdapat lima hal dalam buku ini yang terkait dengan anthro-vision (pandangan yang berpusat pada manusia). Pertama, kita harus mengenali bahwa kita semua adalah makhluk hidup yang berkembang dalam lingkungan ekologi, sosial, dan budaya yang saling terkait dan tidak terpisahkan.
Kedua, umat manusia hidup dan tumbuh dalam ragam budaya yang berbeda-beda. Ketiga, kita harus mampu hidup bersama orang lain agar mampu memahami serta menghayati hidup dan pikiran orang lain secara lebih mendalam dan menyeluruh.
Keempat, terkadang kita perlu melihat hidup kita sendiri dengan kacamata pihak luar agar dapat melihat diri kita secara lebih jelas dan tidak terlalu subjektif. Kelima, kita menggunakan antropologi untuk mendengar serta melihat ritual dan simbol yang ada di sekeliling kita untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang berbagai perubahan yang terjadi di sekeliling kita.
Perusahaan perlu mengadopsi metode yang digunakan dalam antropologi ketika mencari, merumuskan, dan memecahkan masalah yang dihadapi. Ini tidak untuk menggantikan yang sudah ada. Ini dilakukan untuk melengkapi berbagai metode yang telah ada, sehingga gambaran yang didapat akan lebih luas, utuh, dan menyeluruh.
Dengan antropologi, pelaku bisnis dapat memahami gejolak dinamika sosial di dalam perusahaan serta mengenali berbagai interaksi sosial, simbol, dan ritual yang tumbuh dan berkembang di perusahaan tersebut. Setiap kelompok dan budaya memiliki cara dan metode pemecahan masalah tersendiri. Di sini perlu ada kesadaran bahwa cara pemecahan masalah tidaklah bersifat tunggal, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan dan layak dicoba.
Eko Widodo*) Penulis adalah Staf Pengajar Program Studi Magister Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
"bisnis" - Google Berita
March 13, 2022 at 06:58AM
https://ift.tt/RimOTws
Melihat Bisnis dari Kacamata Antropologi - Swa
"bisnis" - Google Berita
https://ift.tt/42trZQV
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Melihat Bisnis dari Kacamata Antropologi - Swa"
Post a Comment