Dua dekade terakhir sektor telekomunikasi menjalani tiga era persaingan. Era pertama adalah perluasan jaringan, kedua adalah peningkatan kapasitas layanan dan ketiga era transformasi digital. Transformasi digital telah menghadapkan perusahaan telekomunikasi pada dua pilihan strategi: melakukan ekspansi bertahap atau beralih bisnis inti dari jasa telekomunikasi ke bisnis digital.
Persaingan di era pertama ditandai dengan upaya memperluas jaringan untuk meraih pelanggan. Di wilayah remote yang tak memenuhi skala, perusahaan telekomunikasi tetap berinvestasi sambil menunggu perubahan kapasitas perekonomian lokal, baik akibat kehadiran sarana telekomunikasi maupun faktor lain. Beberapa negara menerapkan skema universal service obligation agar penduduk di daerah remote tetap dapat terlayani.
Persaingan di era kapasitas diwarnai oleh investasi teknologi berbiaya tinggi dengan durasi semakin pendek. Di wilayah padat, perebutan pelanggan begitu sengit dan tak jarang disertai perang harga antar operator. Namun persaingan kapasitas layanan yang menelan biaya mahal ini tak memiliki durasi lama untuk pengembalian modal. Perubahan kapasitas dari 3G, 4G, ke 5G hingga beragam teknologi satelit orbit rendah berkembang begitu cepat.
Di Indonesia, untuk mempertahankan dan merebut pelanggan para operator seluler gencar menerapkan paket promo bertahun-tahun. Persaingan keras antar operator telah menyebabkan mereka harus melakukan efisiensi di segala lini, menuntut regulasi yang lebih fleksibel dan tak bisa mengelak dari opsi konsolidasi antar operator.
McKinsey pada awal tahun 2022 menyampaikan bahwa perusahaan telekomunikasi tak lagi dapat sepenuhnya memonetisasi pengeluaran yang diperlukan untuk infrastruktur jaringan baru. Akibatnya tingkat pengembalian industri secara konsisten mengalami penurunan rata-rata 23% per tahun sejak tahun 2010.
Di era transformasi digital, beberapa perusahaan telekomunikasi dihadapkan pada pilihan berekspansi ke bisnis digital atau bahkan beralih bisnis inti dari konektivitas ke digital. Bagi perusahaan telekomunikasi yang terlambat melakukan penetrasi ke bisnis digital memutuskan untuk memilih skema ekspansi bertahap, sementara bagi yang telah lebih dulu masuk ada yang memutuskan untuk beralih bisnis inti.
Data yang dipublikasikan oleh Morgan Stanley Capital International (MSCI) mengindikasikan bahwa setelah tahun 2017 Total Shareholder Returns (TSR) sektor telekomunikasi tak lagi berkembang pesat. Di awal tahun 2022, TSR sektor Telekomunikasi hanya mencapai 28%. Sektor keuangan mencapai 87% dan kesehatan mencapai 97% selama pandemi. Sektor industri yang diperkirakan akan paling terimbas oleh pandemi justru masih mencapai 90%.
Technology Innovation Council (TIC) Inggris pada awal 2021 menyatakan bahwa 74 persen operator telekomunikasi telah berencana meningkatkan investasi transformasi digital mereka selama pandemi Covid-19. Ada 65 persen perusahaan telekomunikasi yang telah mengembangkan peta jalan untuk transformasi digital mereka, meski baru satu dari empat yang telah menetapkan ukuran sukses mereka. Lebih dari 70% masih mengandalkan penjualan produk melalui saluran fisik. Meski demikian, 73% perusahaan mulai melirik integrasi dengan kanal digital yang telah ada.
Dalam meraih pendapatan di kawasan Amerika Utara 91% perusahaan telekomunikasi telah beralih ke kanal digital. Namun demikian di Asia Pasifik baru mencapai 39% dan Eropa 50%. Di Afrika dan Timur tengah 33% mulai memprioritaskan kanal digital. Hal yang mengejutkan adalah di kawasan Amerika Latin 100% perusahaan masih mengandalkan kanal fisik. Perubahan global tak memiliki arah yang sama.
Ekspansi Bisnis
Beberapa perusahaan telekomunikasi tetap berusaha melakukan ekspansi bisnis jaringan mereka. Di India, pada agustus 2021 Tata Group Nelco mengumumkan bahwa perusahaan akan menggandeng Telesat asal Kanada untuk layanan broadband satelit cepat di India dalam rangka melawan Bharti Enterprises yang didukung OneWeb, SpaceX dan Amazon. Inmarsat, pengembang satelit asal Inggris, juga masuk ke India di India dengan menggandeng mitra lokal strategis Bharat Sanchar Nigam Limited (BSNL).
Meski belum memutuskan beralih bisnis inti ke industri digital, beberapa perusahaan telekomunikasi bukan hanya berekspansi untuk kapasitas jaringan, tapi juga mulai berekspansi ke ekosistem digital. Raksasa Teknologi Google, melakukan investasi USD 1 miliar di Airtel, melalui apa yang disebut sebagai Google for India Digitization Fund (IDF) pada Januari 2022 setelah sebelumnya pada Reliance Jio. Keduanya adalah perusahaan telekomunikasi besar India yang bersaing ketat. Untuk itu investasi akan difokuskan untuk dua hal: peluncuran 5G dan ekosistem cloud.
Pada tahun 2021 China Telecom melaporkan pendapatan dari layanan komunikasi mobile dan wireline RMB 400 miliar lebih atau 68% dari total pendapatan, namun pertumbuhan hanya mencapai 4,6%. Sementara pendapatan layanan Digitalisasi Industri mendekati RMB 100 miliar atau 23% pendapatan namun tumbuh 17,8%. China Telecom memilih memacu ekspansi layanan Digitalisasi Industri melalui lima layanan: Industry Cloud, IDC, Digitalised Platform & Big Data, IoT, dan Network Dedicated Line.
Perusahaan telekomunikasi Jepang, KDDI, secara konsisten melakukan investasi modal ventura di perusahaan rintisan melalui “KDDI Open Innovation Fund (KOIF) sejak tahun 2012. Pendapatan operasional KDDI 85% masih didominasi pelayanan mobile dan fixed line pada tahun 2021. Bersama Mitsui, KDDI mendirikan perusahaan patungan GEOTRA untuk mengembangkan platform analisis geospasial dalam mendukung smart city. Smart city menjadi bagian dari konsep 'Masyarakat 5.0' pemerintah mereka.
Di Indonesia, Telkomsel memilih skema ekspansi antara lain dengan membeli 2,8% saham GoTo dan membentuk usaha patungan melalui anak perusahaan masing-masing untuk bisnis platform permainan digital. Telkomsel juga melakukan kerja sama dengan Cloudera mengembangkan bisnis data analytics. Salah satu produk layanan adalah platform tSurvey. Belum cukup banyak perusahaan teknologi yang terdaftar di pasar modal, namun GoTo yang baru saja IPO pada April 2022 telah masuk ke jajaran lima besar kapitalisasi pasar pada pertengahan tahun.
Beralih Bisnis Inti
Nippon Telegraph and Telephone Corporation (NTT Corp), perusahaan telekomunikasi terkemuka Jepang konsisten mengalami penurunan pendapatan dari layanan jaringan mobile dan fixed line ke bawah 50% dari total pendapatan operasional perusahaan, baik voice maupun data. Pada tahun 2021 porsi pendapatan layanan ini menurun menjadi 45%. Layanan non jaringan terus tumbuh lebih tinggi, namun perusahaan telekomunikasi global ini belum secara eksplisit mengumumkan rencana beralih bisnis inti dari telekomunikasi ke digital.
Pada 2021 lalu Korea Telecom Corporation (KTC) mengumumkan ke publik mulai beralih dari perusahaan telekomunikasi (telco) ke perusahaan platform digital (digico). KTC ingin mencapai penjualan platform digital sebesar 50% pada tahun 2025. Sebagai pemilik 11Street, market place ketiga terbesar, KTC ingin meningkatkan platformnya yang dinilai stagnan. Investasi dilakukan untuk pengembangan Artificial Inteligent, cloud, robot, media dan konten.
Berinvestasi di BisnisTeknologi
Pada Februari 2022 McKinsey menerbitkan tinjauan berjudul 'Bagaimana Perusahaan Telekomunikasi Bisa Sukses Meluncurkan Bisnis Baru di Luar Konektivitas'. Dalam publikasi tersebut dinyatakan bahwa pada beberapa ukuran, kesenjangan kinerja yang semakin besar antara operator telekomunikasi dan perusahaan teknologi besar sangat mencolok.
Perbandingan data gabungan dilakukan antara dua puluh lima perusahaan telekomunikasi global terbesar dengan delapan perusahaan teknologi terbesar yang terdaftar di pasar modal. Porsi pendapatan perusahaan telekomunikasi menurun dari 89% pada tahun 2010 menjadi 54% pada tahun 2020. EBITDA turun dari 91% pada tahun 2010 menjadi 59% pada tahun 2020. Perubahan paling drastis terlihat pada kapitalisasi pasar, dari 68% pada tahun 2010 menjadi 18% pada 2020.
Berinvestasi di BisnisTeknologi
Pada Februari 2022 McKinsey menerbitkan tinjauan berjudul 'Bagaimana Perusahaan Telekomunikasi Bisa Sukses Meluncurkan Bisnis Baru di Luar Konektivitas'. Dalam publikasi tersebut dinyatakan bahwa pada beberapa ukuran, kesenjangan kinerja yang semakin besar antara operator telekomunikasi dan perusahaan teknologi besar sangat mencolok.
Perbandingan data gabungan dilakukan antara dua puluh lima perusahaan telekomunikasi global terbesar dengan delapan perusahaan teknologi terbesar yang terdaftar di pasar modal. Porsi pendapatan perusahaan telekomunikasi menurun dari 89% pada tahun 2010 menjadi 54% pada tahun 2020. EBITDA turun dari 91% pada tahun 2010 menjadi 59% pada tahun 2020. Perubahan paling drastis terlihat pada kapitalisasi pasar, dari 68% pada tahun 2010 menjadi 18% pada 2020.
Dari data global yang dihimpun oleh MSCI, di pertengahan Juli 2022 kapitalisasi pada kategori perusahaan teknologi di dunia meningkat hingga 7,3 kali perusahaan telekomunikasi dan 2,7 kali perusahaan pertambangan dan migas. Meski demikian, kapitalisasi pada perusahaan teknologi rintisan sering kali tidak mencerminkan fundamental keuangan perusahaan. Tak sedikit yang terus merugi dan harus mengandalkan sirkulasi kas dari kombinasi pinjaman dan ekuitas untuk merebut dan mempertahankan pelanggan.
Banyak yang berpendapat ukuran keuangan konvensional tak lagi bisa sepenuhnya diterapkan pada perusahaan teknologi. Standar akuntansi mengalami penyesuaian bersamaan dengan maraknya perusahaan teknologi yang membiayai pertumbuhan melalui valuasi modal meski terus merugi. Fenomena yang memerlukan pendalaman dan waktu untuk mengujinya.
*)Anggota Ombudsman RI Periode 2016-2021
Editor : Imam Suhartadi (imam_suhartadi@investor.co.id)
"bisnis" - Google Berita
July 18, 2022 at 01:02PM
https://ift.tt/XgAeD9r
Bisnis Telekomunikasi: Ekspansi atau Beralih? - Investor Daily
"bisnis" - Google Berita
https://ift.tt/iz1NIQw
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Bisnis Telekomunikasi: Ekspansi atau Beralih? - Investor Daily"
Post a Comment