- Tekanan ekonomi global dari inflasi dan suku bunga tinggi di banyak negara belum juga berakhir.
- Purchasing Managers Index (PMI) di beberapa negara maju masih patut di cermati di tengah kondisi saat ini.
- Data PMI kerap digunakan untuk memahami ke mana arah ekonomi dan pasar serta mengungkap peluang ke depan.
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi global tampaknya masih tertekan, pasalnya inflasi dan suku bunga tinggi masih menghantui negara-negara di dunia sejak invasi Rusia-Ukraina Februari 2022. Rilis data PMI Manufaktur berbagai negara di dunia seperti China, Amerika Serikat (AS), dan Jepang masih menjadi perhatian sebab belakangan sempat mengecewakan.
Nyatanya, pemulihan belum sepenuhnya terjadi terutama bagi negara-negara maju. Apalagi inflasi masih meninggi, sementara di Negeri Tirai Bambu pembukaan ekonominya dari kebijakan lockdown akibat Covid-19 nyatanya belum membuat negara itu benar-benar pulih.
Untuk diketahui, International Monetary Fund (IMF) mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2023 menjadi 2,9%.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang mencapai 2,9% pada 2023 tersebut lebih tinggi dari outlook atau proyeksi terakhir mereka pada Oktober 2022 yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global hanya 2,7%. Namun, indikator ekonomi makro lainnya masih mencoba bangkit dari prospek yang suram.
Industri manufaktur dan jasa secara global sempat mencatatkan kinerja yang melambat di tengah suramnya prospek ekonomi global. Ada banyak negara yang mengalami kontraksi.
Data PMI kerap digunakan untuk memahami ke mana arah ekonomi dan pasar serta mengungkap peluang ke depan. Maka dari itu, PMI Manufaktur negara-negara seperti Jepang, AS, dan China patut dicermati.
Dari Amerika Serikat (AS) menunjukan bahwa aktivitas bisnisnya turun ke level terendah tiga bulan di bulan Juni karena pertumbuhan jasa mereda untuk pertama kalinya tahun ini dan kontraksi di sektor manufaktur semakin dalam.
PMI manufaktur untuk periode Juni masih saja mengalami kontraksi di angka46,3dari 48,4 pada Mei dan masih di angka 50,2 pada April 2023. Angka pada periode Juni ini menjadi posisi terendah sejak Januari 2023.
Lesunya aktivitas bisnis di Amerika memberi harapan jika bank sentral The Federal Reserve (The Fed) akan segera melunak. Pasalnya, ekonomi AS yang lesu bisa menjadi sinyal jika inflasi akan melandai ke depan.
Gambaran keseluruhan, bagaimanapun, menunjukkan pertumbuhan ekonomi AS meningkat pada kuartal kedua bahkan ketika kekhawatiran berlanjut bahwa kenaikan suku bunga agresif Federal Reserve (The Fed) selama setahun terakhir akan memicu resesi.
Data survei, yang dikumpulkan antara 12-22 Juni, menambah bukti ekonomi AS terus berkembang pada periode April hingga Juni, meskipun semakin bergantung pada sektor jasa yang luas untuk pertumbuhan keseluruhan produk domestik bruto.
"Tingkat keseluruhan ekspansi aktivitas bisnis di AS tetap kuat pada bulan Juni, konsisten dengan PDB yang naik pada tingkat 1,7% untuk menempatkan pertumbuhan kuartal kedua di wilayah 2%," kata Chris Williamson, kepala ekonom bisnis di S&P Global dikutip dari Reutres.
Model GDP Now The Fed Atlanta saat ini mematok pertumbuhan kuartal kedua pada tingkat tahunan sebesar 1,9%. Perekonomian tumbuh pada tingkat 1,3% pada kuartal pertama, angka yang menurut beberapa ekonom akan direvisi naik minggu depan ketika Departemen Perdagangan melaporkan perkiraan pertumbuhan terakhirnya untuk tiga bulan pertama tahun ini.
Dari China, PMI manufaktur tampaknya terus diredam pada periode Juni karena permintaan tetap lemah, meskipun tingkat output meningkat. Biro Statistik Nasional (NBS) mencatat PMI China naik tipis dari 48,8 pada Mei menjadi 49 pada Juni seperti yang diharapkan.
Kendati demikian, pembacaan angka di bawah 50 poin terus mengindikasikan penurunan tingkat aktivitas secara keseluruhan. Dengan ini, aktivitas pabrik di China mengalami kontraksi 3 bulan berturut di bulan Juni 2023, sementara aktivitas non-manufaktur berada pada titik paling lemah sejak Beijing memutuskan menghentikan kebijakan ketat nol-Coviddi akhir tahun 2022 lalu.
Data terbaru menunjukkan pemulihan yang tidak merata telah terjadi di negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu. Ini akibat momentum pertumbuhannya melemah.
"Momentum ekonomi masih cukup lemah di China. Data terbaru menunjukkan ekonomi global melambat, yang kemungkinan akan memberikan tekanan lebih lanjut pada permintaan eksternal dalam beberapa bulan mendatang," kata Presiden dan Kepala Ekonom Pinpoint Asset Management Zhang Zhiwei, dikutip dari CNBC International.
"Di sisi lain, target pertumbuhan pemerintah sebesar 5% tahun ini cukup sederhana mengingat basis yang rendah tahun lalu. Tidak jelas apakah data ekonomi yang lemah akan mendorong pemerintah untuk segera meluncurkan langkah-langkah stimulus yang agresif," tambahnya.
Sementara Perdana Menteri China Li Qiang pada Selasa menyebutkan, China masih berada di jalur yang tepat untuk mencapai target pertumbuhan tahunan sekitar 5%. Ini merupakan target sederhana setelah China tumbuh hanya 3% tahun lalu atau salah satu pertumbuhan terlemah dalam hampir setengah abad.
Pengamat pasar mengantisipasi langkah selanjutnya dari pertemuan Politbiro pada Juli, di mana petinggi Partai Komunis akan meninjau kinerja ekonomi negara pada paruh pertama tahun ini.
Dewan Negara China telah berjanji pada pertengahan Juni untuk meluncurkan langkah-langkah yang lebih kuat secara tepat waktu untuk meningkatkan momentum pembangunan ekonomi, mengoptimalkan struktur ekonomi, dan mendorong pemulihan yang berkelanjutan.
Pada periode sebelumnya, Jepang cukup membuat lega pasalnya PMI berada di angka 50,8 pada Mei. Namun, menyedihkannya hal ini tak bisa berlanjut pada periode Juni. Aktifitas bisnis di jepang turun ke 49,8.
Aktivitas manufaktur Jepang kembali mengalami kontraksi di bulan Juni dan pertumbuhan sektor jasa melambat untuk pertama kalinya dalam tujuh bulan terakhir, seiring dengan melemahnya kepercayaan bisnis dan permintaan.
Baik output maupun pesanan baru berayun ke penurunan di bulan Juni setelah tumbuh di bulan Mei, sementara pesanan ekspor baru turun pada laju paling tajam sejak Februari.
"Beberapa perusahaan menyatakan lebih berhati-hati terhadap prospek karena tekanan biaya yang kuat dan ketidakpastian ekonomi global yang masih ada," kata Annabel Fiddes, direktur asosiasi ekonomi di S&P Global Market Intelligence, yang menyusun survei tersebut.
Namun, tekanan-tekanan biaya terus mereda dengan inflasi harga input yang melemah ke level terendah dalam 22 bulan terakhir.
Terakhir, melihat aktivitas bisnis di Zona Eropa. Pertumbuhan aktivitas bisnis Eropa melambat pada Juni, bahkan jatuh ke level terendah dalam lima bulan terakhir.
Data yang dirilis pada Jumat (23/6/2023) menunjukkan akhir yang sulit untuk kuartal kedua (Q2) di zona euro. Indeks Manajer Pembelian (PMI) gabungan zona euro turun dari 52,8 pada Mei menjadi 50,3 pada Juni.
Angka ini di bawah 52,5 yang diperkirakan oleh para analis. Angka di atas 50 menandai peningkatan aktivitas, sedangkan angka di bawah 50 menandai kontraksi.
"Pertumbuhan output bisnis zona euro hampir terhenti pada bulan Juni, menurut data survei PMIflashHCOB terbaru," kata S&P Global dalam sebuah rilis, seperti dikutip CNBC International.
"Menunjukkan kelemahan baru dalam ekonomi setelah kebangkitan pertumbuhan singkat yang dicatat pada musim semi," tambahnya.
Meskipun kekhawatiran energi dan rantai pasokan telah mereda sejak akhir tahun lalu, ada peningkatan lebih lanjut dari kekhawatiran atas pertumbuhan permintaan, khususnya dampak dari suku bunga yang lebih tinggi. Belum lagi kemungkinan resesi yang dihasilkan baik di pasar domestik.
"Suku bunga yang lebih tinggi, kenaikan biaya hidup, semuanya mulai memakan korban," kata kepala ekonom bisnis di S&P Global Market Intelligence, Chris Williamson, menggambarkan angka tersebut mengkhawatirkan.
Bank Sentral Eropa sebelumnya telah meningkatkan suku bunga secara konsisten selama 12 bulan terakhir sebagai upaya menurunkan inflasi. Namun, tarif yang lebih tinggi dapat menyebabkan biaya yang lebih tinggi bagi perusahaan di seluruh blok, dan seringkali menjadi hambatan.
Berdasarkan negara per negara, Jerman juga menunjukkan perlambatan ekonomi terbesar di Eropa. PMI komposit flash Jerman turun dari 53,9 pada Mei menjadi 50,8 pada Juni. Angka ini jauh di bawah ekspektasi pasar.
Jerman memasuki resesi teknis pada kuartal pertama tahun ini, setelah mengalami kontraksi 0,3% selama periode tiga bulan. Pada kuartal terakhir tahun 2022, ekonomi Jerman menyusut sebesar 0,5%.
Hal serupa juga terjadi di Prancis, di mana PMI komposit turun menjadi 47,3 dari 51,2 di bulan Mei, jauh di bawah perkiraan 51. Hal ini terutama disebabkan oleh kelemahan di sektor jasa.
Imbal hasil obligasi zona euro turun setelah rilis data Jerman dan Prancis. Perlambatan ekonomi cenderung negatif untuk imbal hasil obligasi. Hasil pada bund Jerman 2 tahun turun 6,5 basis poin menjadi 3,21%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)[Gambas:Video CNBC]
"bisnis" - Google Berita
July 03, 2023 at 08:40AM
https://ift.tt/wXWfmyL
Makin Babak Belur! Ini Data Baru Aktivitas Bisnis Negara Maju - CNBC Indonesia
"bisnis" - Google Berita
https://ift.tt/7XY1JLH
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Makin Babak Belur! Ini Data Baru Aktivitas Bisnis Negara Maju - CNBC Indonesia"
Post a Comment